Selasa, 25 Juli 2023

sejarah kerajaan tarumanegara

Kerajaan tarumanagara

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma (Sunda: ᮒᮛᮥᮙᮔᮌᮛ) adalah kerajaan tertua kedua di Nusantara setelah Kerajaan Kutai, yang meninggalkan bukti arkeologi. Kerajaan ini pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi. Bukti tertua peninggalan arkeologi dari kerajaan ini adalah prasasti Ciaruteun, berupa batu peringatan dari abad ke-5 Masehi yang ditandai dengan bentuk tapak kaki raja Purnawarman.
Terdapat tujuh bukti prasasti yang berhubungan dengan kerajaan Tarumanagara ditemukan di daerah Jawa Barat, Jakarta dan Banten. Prasasti tersebut di antaranya adalah prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi I, Jambu, Pasir Awi, dan Muara Cianten di dekat Bogor; prasasti Tugu di Jakarta Utara; dan prasasti Cidanghiang di Pandeglang, Banten.

Kehidupan di Tarumanagara

Kehidupan politik pada masa Kerajaan Tarumanagara diketahui berdasarkan prasasti yang telah ditemukan. Berdasarkan prasasti tersebut, raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat adalah Raja Purnawarman yang dibuktikan dalam prasasti tugu yang menuliskan bahwa penggalian kali yang dilakukan membuat kehidupan rakyat makmur dan merasa aman. Selanjutnya, kondisi sosial pada masa pemerintahan Raja Purnawarman terus meningkat dengan memperhatikan kedudukan kaum Brahmana sebagai tanda penghormatan kepada para dewa. Agama yang dianut oleh Raja Purnawarman dan rakyatnya adalah Hindu Siwa dengan kaum Brahmana sebagai pemegang peran penting dalam upacara. Sikap toleransi beragama pada masa ini cukup tinggi dibuktikan dengan adanya agama Budha dan agama nenek moyang (animisme).

Prasasti tugu menuliskan bahwa Raja Purnawarman membuat terusan (sepanjang) 6122 tombak yang dipergunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan dengan daerah sekitarnya (Kalimalang (?)). Hal ini menandakan kehidupan ekonomi rakyatnya tertata rapi. Selain itu, kehidupan budaya pada masa itu sudah berada di dalam taraf tinggi yang ditandai dengan teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti yang memperlihatkan perkembangan budaya tulis menulis.

Penguasa Tarumanagara

Sejauh ini, sumber primer berupa prasasti hanya menyebutkan satu raja, yakni Purnawarman sebagai raja Tarumanagara. Silsilah nenek moyang maupun keturunan Purnawarman sama sekali tidak disebutkan dalam sumber berupa prasasti.

Sejarah Kerajaan Tarumanegara bersumber dari sejumlah prasasti yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti tersebut diberi nama berdasarkan lokasi penemuannya, yaitu prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Koleangkak, prasasti Kebonkopi, prasasti Tugu, prasasti Pasir Awi, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Cidanghiang. Prasasti menyebutkan nama raja yang berkuasa adalah Purnawarman.

Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Tapak Gajah)

Lokasi prasasti ini di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada awal abad XIX oleh N.W. Hoepermans, tertulis pada bongkahan andesit rata dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dinamakan prasasti Tapak Gajah karena diapit oleh sepasang gambar kaki telapak gajah. Pahatan pada prasasti ini tidak terlalu dalam sehingga seiring dengan bertambahnya waktu

tulisan pada prasasti sulit untuk terbaca.

Alih aksara:

"-- -- jayavisalasya tarume(ndra)sya ha(st)ina? -- -- (°aira) vatabhasya vibhatidam=padadvaya? ||" yang artinya “Di sini tampak sepasang tapak kaki ... yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam ... dan (?) kejayaan”.

Prasasti Tugu

Lokasi saat ini Prasasti Tugu di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara. Prasasti ini keluar pada masa pemerintahan Punawarman ditemukan pada abad ke-X Masehi tertulis dalam bahasa Sanskerta, aksara Pallawa dalam bentuk sloka dengan metrum anustubh. Dari sekian prasasti yang ditemukan saat pemerintahan raja Purnawarman, prasasti Tugu adalah yang terlengkap walaupun tidak menuliskan angka tahun.

Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

Prasasti Cidanghiang (Prasasti Munjul)

Lokasi prasasti ini di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kapubaten Pandeglang. Lokasinya masih insitu, ditemukan di tepi Ci Danghiang. Pada prasasti ini tertulis dalam bahasa Sanskerta, dengan aksara Pallawa dan metrum anustubh, tampak keausan dan permukaan yang ditutupi lumut pada permukaan prasasti ini namun tulisan masih dapat dibaca.[3] Isi dari prasasti ini merupakan pujian dan pengagungan terhadap raja Purnawarman. Prasasti ini pertama kali ditemukan pada tahun 1947 oleh Toebagus Roesjan dan diteliti pada tahun 1947.

Alih aksara dari prasasti yaitu:

(1) "vikranto ‘yam vanipateh | prabhuh satyapara[k]ramah" yang berarti "Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia" (2) "narendraddhavajabhutena | srimatah purnnavarmanah" yang berarti "Yang Mulia Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

Prasasti Ciaruteun

Lokasi Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor ditemukan di aliran Ci Aruteun, Bogor pada tahun 1863, prasasti ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa terdiri atas 4 baris puisi India (irama anustubh), dan Prasasti Ciaruteun B berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya, menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat pada prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter dengan tinggi 1,5 meter, berbobot 8 ton.

Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

Baris ketiga: tarumanagarendrasya

Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||[4]

Artinya:

“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”.

Berdasarkan pesan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun kita mengetahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-V dan menginformasikan bahwa pada masa lalu terdapat Kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan India dan terbukti pada nama raja yang berakhiran -warman (alih bahasa dari -varman) serta tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya.Pada tahun 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula, dan pada 1981 barulah prasasti ini dilindungi.

Prasasti Muara Cianten

Lokasi Prasasti Muara Cianten di Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans dan beberapa tokoh lainnya, ukuran Prasasti Muara Cianten sekitar 2,7 x 1,4 x 1,4 meter dengan jenis batu andesit, hingga saat ini isi prasasti ini belum dapat dibawa sebab menggunakan huruf sangkha atau ikal seperti huruf pada Prasasti Pasir Awi dan Ciaruteun B. 

Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)

Lokasi Prasasti Jambu di Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, tempat ditemukannya prasasti ini merupakan Perkebunan Karet Sadeng Djamboe pada masa Kolonial Belanda, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg yang diperkirakan dibuat pada abad ke-V. Tulisan pada prasasti ini dipahat pada batu menyerupai segitiga berukuran sekitar 2–3 meter tiap sisinya, tertulis dalam huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta dan terdapat pahatan sepasang telapak kaki.

Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.

Arti dari aksara ini yaitu:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya – Yang Termashur Sri Purnnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.